Pendidikanku = Perjuanganku + Guru - Ayah

“Dek... dek... Jakarta bisa-bisanya ya kamu dijadiin mainan?” Itu adalah sepenggal kalimat yang dilontarkan kepada saya oleh salah seorang anggota Polisi di POS Pengamanan terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, setelah kondektur Bis P.O Langgeng Jaya mengantarkan saya ke POS itu, hari minggu sekitar pukul 4 sore, tanggal dan tahunnya lupa. Kala itu saya masih kelas dua SD/MI, atau usia saya sekitar 7 tahunan. Mungkin kalau berdasarkan usia bisa dikatakan tidak biasa alias nekad, karena sudah berani berspekulasi dan bepergian sendirian ke Jakarta dari daerah tempat tinggal saya di Sukabumi yang lumayan cukup jauh tanpa sepengetahuan ibu di rumah.

Jujur, sampai sekarang yang sudah agak-agak tua kaya gini, hehe... saya masih ingat kalimat itu karena saya anggap itu adalah pengalaman menarik dan sangat berharga buat saya pribadi yang tidak bisa dilupakan. Lucu juga mungkin kalau sekarang mendengarnya, tapi saya katakan tidak, pada saat saya langsung mengalaminya. Justru sebaliknya, saya merasa takut bercampur bingung, karena maksud mencari seorang ayah malah di bawa ke polisi.

Dilihat dari judulnya saja, mungkin sebagian besar pengunjung sudah bisa menebak apa isi dari postingan saya ini. Tentang pendidikan penulis? Tentang guru penulis? Atau tentang ayah? dLL..? Saya jawab: sebagian besar Ya, memang demikian, akan tetapi ini adalah pengalaman penulis pribadi. Kaluapun banyak kisah nyata seperti ini atau memang sengaja diskenario seperti di film-film kaya sinetron, saya yakin ini pasti berbeda karena ini kisah nyata dari penulis.

Ah, lebay banget sih lo, hal kaya gini aja diposting di blog? Mungkin kalo anak-anak jaman sekarang begitu ya bahasanya. Hehe... terserah saya dong, wong ini blog pribadi saya. Sengaja saya posting di blog ini dengan harapan dapat memberikan sebuah hikmah dan pelajaran kepada pengunjung terutama orangtua yang sedang membaca tulisan saya ini. Semoga..

Kita lanjut ya ceritanya...

Saking menggebunya rasa penasaran, rindu, dan keinginan yang kuat, orang bisa melakukan apa saja termasuk hal diluar logika. Dan mungkin hal demikian terjadi juga pada saya dulu yang bisa dikatakan masih anak bau ingusan. Berbekal informasi dari salah seorang tetangga yang mengatakan bahwa Ayah saya ada di Jakarta, tanpa berpikir panjang saya langsung memecahkan celengan (tempat nyimpan uang), - biasanya saya suka menyimpan uang sisa jajan atau pemberian dari orang lain di celengan itu - dan saat itu terkumpul uang recehan sebsesar Rp. 1.050,- (Seribu Lima Puluh Rupiah). Setelah memegang uang tersebut keesokan harinya saya langsung berkemas dan berangkat ke terminal Bis Sukabumi dengan maksud mencari ayah pergi ke Jakarta meskipun tidak tahu alamat lengkapnya. Saya langsung naik bis P.O Langgeng Jaya jurusan Sukabumi-Kampung Rambutan. Orang lain yang berada di Bis tidak curiga saya berangkat seorang diri karena saya duduk berdampingan dengan seorang bapak-bapak, dan mungkin dikira saya adalah anaknya.

Singkat cerita, bis sudah sampai ke terminal Kampung Rambutan, rambutan abis... rambutan abis... teriak sang kondektur bis untuk memberitahu penumpang bahwa bis sudah sampe terminal kampung rambutan. Saya pun bergegas bangun dari jok tempat duduk tadi. Saya lihat hampir semua penumpang sudah pada turun dari bis, ada yang istirahat dulu dan ada juga yang langsung naik mobil lagi melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan masing-masing, tinggal saya sendiri yang masih ada dalam bis.

Karena bingung harus bagaimana, dengan wajah polos saya memberanikan diri untuk bertanya kepada sopir bis dalam bahasa sunda yang kalau di bahasa Indonesia-kan kira-kira seperti ini: Bang sopir, Benar tidak ini teh Jakarta? Tanpa melihat kepada yang memberi pertanyaan sopir langsung menjawab Ya. Kemudian saya mengajukan pertanyaan lagi yang jauh lebih polos sambil menangis, “Ayah saya dimana ya? Saya ingin ketemu ayah,  Ayah saya katanya di Jakarta, Kenapa ayah meninggalkan ibu dan saya sejak kecil?" Mendengar pertanyaan-pertanyaan tadi, sang sopir langsung terperangah dan menghampiri saya, kemudian balik tanya: “Kamu naik bis ini dengan siapa? Memangnya ayah kamu dimana?”  Sambil menangis saya menjawab : “Saya naik bis ini dari Sukabumi sendirian, untuk mencari ayah”. Mendengar penjelasan saya tadi, sang sopir langsung kaget dan memanggil kondektur untuk mengantarkan saya ke POS pengamanan Polisi.

Di POS pengamanan Polisi, saya panjang lebar diintrogasi tentang semua hal yang menyangkut maksud dan tujuan saya datang ke Jakarta. Polisi yang mengintrogasi saya juga jelas kebingungan, karena apa yang saya jawab dari semua pertanyaannya tidak begitu nyambung. Jawaban yang keluar hanyalah, “Pokoknya, Saya Ingin Ketemu Ayah”. Duh, kebayang ya, seandainya kejadian waktu itu direkam, akan lucu juga bila ditonton sekarang hehe.... Karena tidak jelas alamat lengkap dan orang yang bisa dihubungi langsung ke ayah saya, akhirnya polisi menyimpulkan untuk menitipkan ke Sopir bis yang saya tumpangi tadi untuk membawa saya kembali ke Sukabumi. Sambil menggiring saya keluar POS salah, seorang anggota Polisi mengucapkan kata-kata yang sampai saat ini masih teringat, sebuah kalimat seperti yang saya utarakan di awal postingan ini. ---“Dek... dek... Jakarta bisa-bisanya ya kamu dijadiin mainan?”--- Saya baru sadar bahwa Jakarta tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, mungkin saat itu saya mengira Jakarta hanya lah sebuah tempat yang tidak begitu luas, sehingga mungkin dalam pikiran saya akan mudah bertemu dengan ayah, meskipun informasi tentang ayah tidak lengkap.

Singkat cerita, saya sudah nyampai lagi rumah di sukabumi. Begitu kagetnya ibu saya setelah mengetahui bahwa saya pergi ke Jakarta seorang diri hanya untuk mencari ayah, akan tetapi, beliau sedikitpun tidak memarahi, malah beliau memberikan penjelasan-penjelasan yang membuat hati ini luluh. Saya hanya bisa menguraikan air mata, Air mata yang syarat akan makna bahwa saya harus berhasil dikemudian hari. Saya harus bisa berjuang tanpa ada seorang ayah. Saya harus bangkit dari semua keterpurukan selama ini dengan cara belajar lebih giat lagi.

Hari demi hari, bulan ketemu bulan lagi, dan tahun silih berganti ku lalui hidup ini tanpa adanya seorang ayah. Akhirnya saya tamat juga MI (setingkat SD), jujur saya hampir-hampir tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMP, tapi Alhamdulillah berkat bantuan dari salah seorang guru, akhirnya saya bisa juga melanjutkan ke MTs (setingkat SMP). Kejadian yang hampir sama ketika saya mau melanjutkan ke SMA/MA, saya terkendala dengan masalah ekonomi, tapi Alhamdulillah juga saya diperjuangkan oleh guru MTs saya agar bisa melanjutkan ke MAN (Madrasah Aliyah Negeri).

Setelah tamat dari MAN, saya bermaksud untuk mencari pekerjaan, akan tetapi saya tidak bisa mencari pekerjaan karena Ijazah saya ditahan oleh pihak sekolah. Awalnya saya mengira bahwa ijazah saya ditahan karena banyaknya hal yang menyangkut dengan masalah keuangan yang tidak sanggup saya bayar. Tetapi, dugaan saya ternyata salah, Ijazah ditahan bukan karena hal itu,akan tetapi pihak sekolah menahan ijazah saya dengan maksud saya harus bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, (Alhamdulillah, saat itu saya merupakan lulusan terbaik). Mungkin pihak sekolah menyayangkan bila saya hanya sekedar bekerja, tapi secara tidak langsung pihak sekolah memaksa saya untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Pikir saya, boro-boro punya biaya untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, ada untuk makan sehari-hari pun sudah untung. Tapi lain dengan pemikiran pihak sekolah, terutama guru BK saya, beliau yakin saya bisa berjuang dengan segala kompetensi yang saya miliki, dengan segala kelebihan yang saya miliki. Hehe.... (emanngya saya punya kelebihan? Hihi...) Sampai-sampai beliau memperjuangkan bagaimana pun caranya agar saya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Barangkali benar juga apa yang dikatakan Prof. Yohanes Surya, yakni : MESTAKUNG (Semesta Mendukung). Selalu ada jalan ketika kita benar-benar yakin dan berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Sama halnya dengan saya ketika itu, tanpa diduga, saya mendapatkan beasiswa untuk bisa mengikut seleksi di PTN (dulu disebut : BMU) jika lolos, biaya kuliah bisa bisa ditanggulangi oleh pemerintah, alias gratis. Berkat do’a sang ibu, do’a guru-guru saya, dan juga ikhtiar yang maksimal, Alhamdulillah saya lolos di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung.

Bukannya gembira lolos masuk di PTN, tapi malah lebih bingung lagi. Sebab meskipun melalui jalur beasiswa tetap saja harus ada biaya / pengeluaran awal terlebih dahulu, beasiswa bisa cair kalau sudah perkuliahan berlangsung, supaya bisa dimonitoring kelayakan si penerima beasiswa itu sendiri. Maksudnya jangan sampai salah sasaran mungkin. Nah inilah, barangkali ini yang saya maksud dengan Kesombongan Lembaga Pendidikan pada postingan saya sebelumnya. Hampir-hampir saya urung untuk bisa kuliah, akan tetapi lagi-lagi sang guru BK saya menyanggupi untuk memberikan bantuan sepenuhnya biaya awal masuk ke PTN sekaligus dengan biaya hidup saya. Sungguh luar biasa guru saya yang satu ini... 

Inginnya sih, saya menceritakan hal ini sampai tuntas, sampai saya lulus dari PTN, sampai saya bekerja, dan seterusnya. Tapi.... udah malam bingit nih, hehe.. mungkin lain kali akan saya sambung di lain postingan ya. 

Saya sadar bahwa apa yang saya tulis di postingan ini, bisa dibilang  ga nyambung juga, baik dari segi bahasanya banyak yang rancu, kata-kata yang ditulis banyak yang sama, dan lain sebagainya. Memang, saya akui hal itu, akan tetapi saya berusaha menceritakan kisah saya ini seoriginal mungkin, tanpa ada unsur plagiat, dengan harapan bisa diambil hikmah dan pelajarannya bagi pembaca sekalian. Silahkan interpretasikan sendiri, hikmah apa yang bisa diambil dari kisah saya ini?

Terakhir, saya ingin dedikasikan tulisan saya ini diiringi dangan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada IBU saya, (I Love You, My Mother)... AYAH (yang mulai saya kecil hingga saat ini belum bertemu – I Miss U.. Where are You?), dan Guru-Guru saya yang luar biasa, khususnya kepada Bpk. Drs. Yadi Mulyadi (Guru MI), Bpk. Drs. Daruri, NJ. M.Pd. (Guru MTs) dan Ibu Dra. Hj. Wiwit Juwita, M.Pd. (Guru MAN). I love You all.....



No comments:

Post a Comment