Guru Sang Pahlawan Krisis


Saat saya masih kuliah di salah satu PTN di daerah Bandung, mungkin sekitar tahun 2006-an lah saya sempat membaca sebuah buku yang berjudul “Mencari Pahlawan Indonesia” (Penulis : Anis Matta). Sayang seribu kali sayang, saya lupa entah dimana buku itu sekarang berada? Mungkin ada teman yang pinjem tapi tidak sempat mengembalikannya, jatuh, tertimbun oleh buku-buku yang lain, atau dimana lah… yang jelas sekarang buku itu hilang belum ketemu.

Loh, nah loh… emang apa hubungannya dengan tulisan ini? Mungkin diantara pembaca sempat terlintas untuk menanyakan hal itu, hehe… (PeDe aja lagi). Saya masih ingat, ada sesuatu hal menarik dari buku itu, salah satunya adalah ada sebuah kalimat atau ungkapan bahwa “Krisis adalah Takdir Semua Bangsa”. Saya lupa entah halaman berapa ungkapan tersebut ada di buku itu. Suerr… ungkapan tadi ada loh di buku itu, tapi biarlah tidak usah mempermasalahkan halaman berapanya. Yang jadi pertanyaannya adalah, benarkah demikian? Apa maksud dari kalimat atau ungkapan tersebut? Dan apa hubungannya dengan seorang guru?

Sudah sangat familier sekali, kalau kita mendengar bahwa guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Namun pada kali ini, sengaja penulis memberikan gelar lain seperti yang tertulis pada judul postingan ini. Yakni, Guru Sang Pahlawan Krisis. Semoga paparan berikut ini sedikitnya bias menjadi gambaran… makanya jangan langsung tutup halaman ini sebelum membaca semua postingan saya ini ya. So.. mari kita lanjutkan. Let’s go...

Krisis adalah takdir semua bangsa, mungkin ini berarti bahwa semua bangsa, dan juga peradaban manusia, berpotensi dilanda apa yang disebut dengan krisis, apapun bentuk dan kadar krisis yang dimaksud, baik itu krisis keuangan/moneter, krisis kepercayaan, krisis keteladanan, dan lain sebagainya. Krisis terebut jangan lah disesali apalagi dikutuk. Kita hanya perlu meyakini bahwa masalahnya bukan lah pada krisis itu sendiri, akan tetapi keberadaan sang pahlawan saat krisis itu terjadi. Dengan kata lain, krisis tersebut bisa menjadi momentum awal keberlangsungan hidup atau malah menjadi titik awal kehancuran suatu bangsa, dan agar krisis ini bisa dijadikan sebagai titik awal keberlangsungan sebuah bangsa dan peradaban, tentunya tidak ada pilihan lain kecuali mutlak harus ada sang pahlawan.

Saat ini Pahlawan yang dimaksud mungkin bukanlah orang suci yang turun dari langit ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan segala mukjizat, secepat kecepatan cahaya, dan setelah persoalan selesai dengan cepat kembali lagi ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan rutinitas sehari-hari, akan tetapi rutinitas tersebut dilakukan menjadi pekerjaan-pekerjaan besar dalam waktu yang cukup lama dan panjang, sampai waktu mereka habis dimakan usia. Nah, pada momentum inilah sebenarnya kita sudah menemukan sosok pahlawan yang kita idam-idamkan itu, bahkan selama ini ada disekitar kita, dan sangat jelas adanya. Siapa pahlawan yang dimaksud? Jawabannya adalah dialah seorang “Guru”.

Saya katakan bahwa guru adalah sang pahlawan krisis, karena saya (mungkin juga pembaca) punya anggapan bahwa guru adalah pribadi yang bisa menentukan maju dan tidaknya sebuah bangsa dan peradaban manusai. Olehnya, seorang anak yang awalnya tidak tahu apa-apa dapat menjadi seorang jenius. Dengan arahan dan bimbingan dalam bingkai kesabaran seorang guru, anak dengan tingkat kenakalan luar biasa dapat menjadi berprestasi. Melalui sentuhannya,dapat lahir generasi-generasi yang cerdas, berdaya guna nan unggul. Sang guru terjun untuk memberantas kebodohan umat manusia, sekaligus menyebarkan kearifannya sehingga umat manusia menjadi paham tentang makna kehidupan. Banyak sekali perubahan yang terjadi dalam diri seorang anak didik atas jasa dan perjuangan seorang guru.

Namun..... walaupun sama-sama mempunyai gelar pahlawan, tidak semua guru bisa hidup dengan layak, tidak semua guru mendapatkan perlakuan dengan baik, sebagaimana halnya pahlawan bangsa ini yang sudah mempertaruhkan nyawanya di medan laga pertempuran tapi kurang mendapatkan perhatian, nasib guru juga sebagai pahlawaan di medan pendidikan tidaklah jauh berbeda. Ada yang bernasib mujur, dan ada juga guru yang bernasib naas.

Sungguh, sebuah hal yang sangat menyedihkan. Bila kita masih mendengar ada seorang guru yang mendapatkan penghasilan jauh dari kewajaran, gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menilik hal tersebut, secara tidak langsung kita menyaksikan bahwa masih ada guru yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Betapa tidak, guru yang setiap harinya memeras otak untuk memberikan pendidikan, pengetahuan, keterampilan, keteladan, dan hal lainnya kurang begitu dihargai.

Fenomena demikian mungkin sangat jarang kita temukan di daerah perkotaan, akan tetapi keadaan seperti itu benar-benar masih terjadi di masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil, daerah pegunungan atau di daerah pinggiran. Dengan demikian, Pemerintah hendaknya memperhatikan nasib mereka. Sebagai sesama pahlawan, mereka mutlak harus mendapatkan perlakuan yang sama. Apalagi mereka berjuang di medan yang lebih berat, maka hal yang sangat wajar jika guru diprioritaskan untuk mendapatkan tunjangan yang lebih cukup. Terlebih lagi sejak disahkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menyatakan bahwa guru adalah sebuah profesi yang bermartabat.

Memang sampai saat posting ini ditulis, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan tantang pendidikan yang di dalamnya termasuk juga tentang standar nasional pendidikan dan juga kesejahteraan guru, seperti sertifikasi guru. Saya sangat mengapresiasi tentang hal ini. Akan tetapi, permasalahannya lain dalam praktik di lapangan, kebijakan-kebijakan demikian kurang memberikan pengaruh bagi guru-guru yang tinggal di daerah terpencil, pegunungan, atau daerah pinggiran. Makanya tetap saja ada sebagian guru yang masih merasa termarginalkan, (terlalu ekstrim ya! hehe...).

Terlepas dari semua problem di atas, kita yang sudah memilih profesi sebagai guru alangkah kurang bijaknya jika yang terlintas dibenak kita hanyalah masalah kesejahteraan dan finansial. Meskipun itu sangat lah penting demi kelangsungan hidup kita. Akan tetapi semua hal itu menjadi sebuah resiko, menjadi sebuah tantangan besar, sejauh mana ketekunan, kesabaran, dan keikhlasan kita menjalani semua ini?

Lupakan saja paparan saya di atas, tatkala seorang guru hanya memikirkan hal-hal yang berbau finansial saja. Sebagai bagian dari bangsa yang kita cintai ini, mari kita andil dalam membangun bangsa ini agar bisa keluar dari krisis yang berkepanjangan ini sesuai dengan profesi kita sebagai guru. Jika sang guru sudah berjuang keras, memiliki kesabaran dan ketekunan melebihi ambang batas, mungkin sudah layak disebut sang pahlawan. Pahlawan dalam arti sebenarnya, pahlawan sejati, yang berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan, serta nama indah guru dipahat dengan tinta emas. Bravo Wahai Guru Sang Pahlawan Krisis.. Semoga...!!

Pendidikanku = Perjuanganku + Guru - Ayah

“Dek... dek... Jakarta bisa-bisanya ya kamu dijadiin mainan?” Itu adalah sepenggal kalimat yang dilontarkan kepada saya oleh salah seorang anggota Polisi di POS Pengamanan terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, setelah kondektur Bis P.O Langgeng Jaya mengantarkan saya ke POS itu, hari minggu sekitar pukul 4 sore, tanggal dan tahunnya lupa. Kala itu saya masih kelas dua SD/MI, atau usia saya sekitar 7 tahunan. Mungkin kalau berdasarkan usia bisa dikatakan tidak biasa alias nekad, karena sudah berani berspekulasi dan bepergian sendirian ke Jakarta dari daerah tempat tinggal saya di Sukabumi yang lumayan cukup jauh tanpa sepengetahuan ibu di rumah.

Jujur, sampai sekarang yang sudah agak-agak tua kaya gini, hehe... saya masih ingat kalimat itu karena saya anggap itu adalah pengalaman menarik dan sangat berharga buat saya pribadi yang tidak bisa dilupakan. Lucu juga mungkin kalau sekarang mendengarnya, tapi saya katakan tidak, pada saat saya langsung mengalaminya. Justru sebaliknya, saya merasa takut bercampur bingung, karena maksud mencari seorang ayah malah di bawa ke polisi.

Dilihat dari judulnya saja, mungkin sebagian besar pengunjung sudah bisa menebak apa isi dari postingan saya ini. Tentang pendidikan penulis? Tentang guru penulis? Atau tentang ayah? dLL..? Saya jawab: sebagian besar Ya, memang demikian, akan tetapi ini adalah pengalaman penulis pribadi. Kaluapun banyak kisah nyata seperti ini atau memang sengaja diskenario seperti di film-film kaya sinetron, saya yakin ini pasti berbeda karena ini kisah nyata dari penulis.

Ah, lebay banget sih lo, hal kaya gini aja diposting di blog? Mungkin kalo anak-anak jaman sekarang begitu ya bahasanya. Hehe... terserah saya dong, wong ini blog pribadi saya. Sengaja saya posting di blog ini dengan harapan dapat memberikan sebuah hikmah dan pelajaran kepada pengunjung terutama orangtua yang sedang membaca tulisan saya ini. Semoga..

Kita lanjut ya ceritanya...

Saking menggebunya rasa penasaran, rindu, dan keinginan yang kuat, orang bisa melakukan apa saja termasuk hal diluar logika. Dan mungkin hal demikian terjadi juga pada saya dulu yang bisa dikatakan masih anak bau ingusan. Berbekal informasi dari salah seorang tetangga yang mengatakan bahwa Ayah saya ada di Jakarta, tanpa berpikir panjang saya langsung memecahkan celengan (tempat nyimpan uang), - biasanya saya suka menyimpan uang sisa jajan atau pemberian dari orang lain di celengan itu - dan saat itu terkumpul uang recehan sebsesar Rp. 1.050,- (Seribu Lima Puluh Rupiah). Setelah memegang uang tersebut keesokan harinya saya langsung berkemas dan berangkat ke terminal Bis Sukabumi dengan maksud mencari ayah pergi ke Jakarta meskipun tidak tahu alamat lengkapnya. Saya langsung naik bis P.O Langgeng Jaya jurusan Sukabumi-Kampung Rambutan. Orang lain yang berada di Bis tidak curiga saya berangkat seorang diri karena saya duduk berdampingan dengan seorang bapak-bapak, dan mungkin dikira saya adalah anaknya.

Singkat cerita, bis sudah sampai ke terminal Kampung Rambutan, rambutan abis... rambutan abis... teriak sang kondektur bis untuk memberitahu penumpang bahwa bis sudah sampe terminal kampung rambutan. Saya pun bergegas bangun dari jok tempat duduk tadi. Saya lihat hampir semua penumpang sudah pada turun dari bis, ada yang istirahat dulu dan ada juga yang langsung naik mobil lagi melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan masing-masing, tinggal saya sendiri yang masih ada dalam bis.

Karena bingung harus bagaimana, dengan wajah polos saya memberanikan diri untuk bertanya kepada sopir bis dalam bahasa sunda yang kalau di bahasa Indonesia-kan kira-kira seperti ini: Bang sopir, Benar tidak ini teh Jakarta? Tanpa melihat kepada yang memberi pertanyaan sopir langsung menjawab Ya. Kemudian saya mengajukan pertanyaan lagi yang jauh lebih polos sambil menangis, “Ayah saya dimana ya? Saya ingin ketemu ayah,  Ayah saya katanya di Jakarta, Kenapa ayah meninggalkan ibu dan saya sejak kecil?" Mendengar pertanyaan-pertanyaan tadi, sang sopir langsung terperangah dan menghampiri saya, kemudian balik tanya: “Kamu naik bis ini dengan siapa? Memangnya ayah kamu dimana?”  Sambil menangis saya menjawab : “Saya naik bis ini dari Sukabumi sendirian, untuk mencari ayah”. Mendengar penjelasan saya tadi, sang sopir langsung kaget dan memanggil kondektur untuk mengantarkan saya ke POS pengamanan Polisi.

Di POS pengamanan Polisi, saya panjang lebar diintrogasi tentang semua hal yang menyangkut maksud dan tujuan saya datang ke Jakarta. Polisi yang mengintrogasi saya juga jelas kebingungan, karena apa yang saya jawab dari semua pertanyaannya tidak begitu nyambung. Jawaban yang keluar hanyalah, “Pokoknya, Saya Ingin Ketemu Ayah”. Duh, kebayang ya, seandainya kejadian waktu itu direkam, akan lucu juga bila ditonton sekarang hehe.... Karena tidak jelas alamat lengkap dan orang yang bisa dihubungi langsung ke ayah saya, akhirnya polisi menyimpulkan untuk menitipkan ke Sopir bis yang saya tumpangi tadi untuk membawa saya kembali ke Sukabumi. Sambil menggiring saya keluar POS salah, seorang anggota Polisi mengucapkan kata-kata yang sampai saat ini masih teringat, sebuah kalimat seperti yang saya utarakan di awal postingan ini. ---“Dek... dek... Jakarta bisa-bisanya ya kamu dijadiin mainan?”--- Saya baru sadar bahwa Jakarta tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, mungkin saat itu saya mengira Jakarta hanya lah sebuah tempat yang tidak begitu luas, sehingga mungkin dalam pikiran saya akan mudah bertemu dengan ayah, meskipun informasi tentang ayah tidak lengkap.

Singkat cerita, saya sudah nyampai lagi rumah di sukabumi. Begitu kagetnya ibu saya setelah mengetahui bahwa saya pergi ke Jakarta seorang diri hanya untuk mencari ayah, akan tetapi, beliau sedikitpun tidak memarahi, malah beliau memberikan penjelasan-penjelasan yang membuat hati ini luluh. Saya hanya bisa menguraikan air mata, Air mata yang syarat akan makna bahwa saya harus berhasil dikemudian hari. Saya harus bisa berjuang tanpa ada seorang ayah. Saya harus bangkit dari semua keterpurukan selama ini dengan cara belajar lebih giat lagi.

Hari demi hari, bulan ketemu bulan lagi, dan tahun silih berganti ku lalui hidup ini tanpa adanya seorang ayah. Akhirnya saya tamat juga MI (setingkat SD), jujur saya hampir-hampir tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMP, tapi Alhamdulillah berkat bantuan dari salah seorang guru, akhirnya saya bisa juga melanjutkan ke MTs (setingkat SMP). Kejadian yang hampir sama ketika saya mau melanjutkan ke SMA/MA, saya terkendala dengan masalah ekonomi, tapi Alhamdulillah juga saya diperjuangkan oleh guru MTs saya agar bisa melanjutkan ke MAN (Madrasah Aliyah Negeri).

Setelah tamat dari MAN, saya bermaksud untuk mencari pekerjaan, akan tetapi saya tidak bisa mencari pekerjaan karena Ijazah saya ditahan oleh pihak sekolah. Awalnya saya mengira bahwa ijazah saya ditahan karena banyaknya hal yang menyangkut dengan masalah keuangan yang tidak sanggup saya bayar. Tetapi, dugaan saya ternyata salah, Ijazah ditahan bukan karena hal itu,akan tetapi pihak sekolah menahan ijazah saya dengan maksud saya harus bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, (Alhamdulillah, saat itu saya merupakan lulusan terbaik). Mungkin pihak sekolah menyayangkan bila saya hanya sekedar bekerja, tapi secara tidak langsung pihak sekolah memaksa saya untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Pikir saya, boro-boro punya biaya untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, ada untuk makan sehari-hari pun sudah untung. Tapi lain dengan pemikiran pihak sekolah, terutama guru BK saya, beliau yakin saya bisa berjuang dengan segala kompetensi yang saya miliki, dengan segala kelebihan yang saya miliki. Hehe.... (emanngya saya punya kelebihan? Hihi...) Sampai-sampai beliau memperjuangkan bagaimana pun caranya agar saya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Barangkali benar juga apa yang dikatakan Prof. Yohanes Surya, yakni : MESTAKUNG (Semesta Mendukung). Selalu ada jalan ketika kita benar-benar yakin dan berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Sama halnya dengan saya ketika itu, tanpa diduga, saya mendapatkan beasiswa untuk bisa mengikut seleksi di PTN (dulu disebut : BMU) jika lolos, biaya kuliah bisa bisa ditanggulangi oleh pemerintah, alias gratis. Berkat do’a sang ibu, do’a guru-guru saya, dan juga ikhtiar yang maksimal, Alhamdulillah saya lolos di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung.

Bukannya gembira lolos masuk di PTN, tapi malah lebih bingung lagi. Sebab meskipun melalui jalur beasiswa tetap saja harus ada biaya / pengeluaran awal terlebih dahulu, beasiswa bisa cair kalau sudah perkuliahan berlangsung, supaya bisa dimonitoring kelayakan si penerima beasiswa itu sendiri. Maksudnya jangan sampai salah sasaran mungkin. Nah inilah, barangkali ini yang saya maksud dengan Kesombongan Lembaga Pendidikan pada postingan saya sebelumnya. Hampir-hampir saya urung untuk bisa kuliah, akan tetapi lagi-lagi sang guru BK saya menyanggupi untuk memberikan bantuan sepenuhnya biaya awal masuk ke PTN sekaligus dengan biaya hidup saya. Sungguh luar biasa guru saya yang satu ini... 

Inginnya sih, saya menceritakan hal ini sampai tuntas, sampai saya lulus dari PTN, sampai saya bekerja, dan seterusnya. Tapi.... udah malam bingit nih, hehe.. mungkin lain kali akan saya sambung di lain postingan ya. 

Saya sadar bahwa apa yang saya tulis di postingan ini, bisa dibilang  ga nyambung juga, baik dari segi bahasanya banyak yang rancu, kata-kata yang ditulis banyak yang sama, dan lain sebagainya. Memang, saya akui hal itu, akan tetapi saya berusaha menceritakan kisah saya ini seoriginal mungkin, tanpa ada unsur plagiat, dengan harapan bisa diambil hikmah dan pelajarannya bagi pembaca sekalian. Silahkan interpretasikan sendiri, hikmah apa yang bisa diambil dari kisah saya ini?

Terakhir, saya ingin dedikasikan tulisan saya ini diiringi dangan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada IBU saya, (I Love You, My Mother)... AYAH (yang mulai saya kecil hingga saat ini belum bertemu – I Miss U.. Where are You?), dan Guru-Guru saya yang luar biasa, khususnya kepada Bpk. Drs. Yadi Mulyadi (Guru MI), Bpk. Drs. Daruri, NJ. M.Pd. (Guru MTs) dan Ibu Dra. Hj. Wiwit Juwita, M.Pd. (Guru MAN). I love You all.....



Kesombongan Lembaga Pendidikan



Entah inspirasi apa yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini, tapi itu tak penting, yang jelas, sekarang tulisan ini sudah ada di hadapan pembaca kan? dan sekarang silahkan lanjutkan untuk membacanya.

Bukanlah hal yang mudah mencantumkan judul dalam suatu karya tulis, apalagi dapat mengundang kontraversi dari berbagai kalangan. Seperti halnya dalam tulisan ini, tentu bagi lembaga pendidikan sangat tidak setuju, tapi bagaimana pun juga dengan berat hati terpaksa mencantumkan judul tulisan ini seperti yang tertera karena mungkin itulah pengalaman yang dirasakan penulis. Makanya tak heran mahasiswa tingkat akhir mondar-mandir kesana kemari untuk mencari judul skripsinya itupun memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi resiko ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbingnya.

Barangkali, saat ini sudah tidak aneh lagi bila pembaca,  mendengar berbagai kasus yang menyangkut dengan persoalan pendidikan. Anak sekolah seusia SD, SLTP, dan SMU bahkan Mahasiswa Perguruan Tinggi yang rela melepaskan nyawanya dengan cara-cara yang tragis, gantung diri  misalnya, hanya dikarenakan ketidaksanggupan membayar uang SPP, sumbangan atau apapun namanya. Berbagai kasus tersebut menjelaskan kepada kita bahwa gagalnya pendidikan memaklumi kemiskinan anak didik. (Red: ganti sajalah kemiskinan itu dengan jum’atkinan, sabtukinan dan seterusnya…garing !!!).

Ketidaksanggupan membayar sejumlah uang Rp.5000,- misalnya, bukanlah sebatas perkara besar kecil, melainkan realitas angka memerangkap kenyamanan harga diri. Memang, kalau kita perhatikan angka-angka yang tertera pada mata uang (Rp.25,- Rp.50,- Rp.100 dan seterusnya sampai angka nol dibelakangnya sulit untuk dihitung) saat ini menjadi sebuah parameter yang memandang seseorang dalam mengaktualisasi kemampuan segala hal, misalnya peringkat kelas atau nilai kecerdasan. Lalu angka-angka ini menjadi mitos bahwa manusia harus menjadi matre dan itu berarti seseorang harus kaya.

Pendidikan tak lagi memandang kemiskinan sebagai sesuatu yang harus atau akan dimaklumi, kenyataan logis itu berarti bahwa setiap soal diukur dalam tendensi ekonomi, apapun alasannya. Seorang yang pintar tidak dianggap keberadaannya bukan karena kapasitas kemampuan, tetapi alpa dari aktivitas berenang misalnya.

Memberlakukan siswa atau mahasiswa secara homogen memang menguntungkan, tak ada derajat kaya-miskin di dalamnya, hanya yang tetap dibutuhkan adalah kepekaan memahami status sosial sebagai kenyataan siswa atau mahasiswa yang bisa jadi tetap senjang.

Kefleksibelan pendidikan sebagai lembaga, tetap harus dijaga. Mana mungkin sebuah generasi yang beradab dan bernorma akan terbentuk manakala sistem yang membangun anak didik adalah sistem-sistem yang otoriter dan kaku.

Kesalahan dalam kasus bunuh diri siswa anak sekolah atau mahasiswa bukanlah terletak pada guru, dosen, sekolah atau orang tua, tetapi sistem yang dikembangkan dalam tingkat makro hanya menilai keberhasilan dari sesuatu yang eksak, terukur dan tentunya berwujud angka-angka.

Adakah sisi angka-angka tersebut menyentuh rasa keadilan ketika kelulusan dihitung berdasarkan besarnya jumlah sumbangan? Memang, keadilan itu menjadi sulit tatkala ketidakadilan itu diadilkan, dan kebenaran itu menjadi rumit tatkala ketidakbenaran itu dibenarkan.

Biang keladi masalah itu berawal dari kapitalisme untung-rugi. Akibatnya siswa atau mahasiswa dipandang sebagai prospek harga bukannya prospek nilai. Ironisnya pendidikan bukanlah lembaga moral yang memaklumi kemiskinan sepenuh hati, kalaupun anak-anak jalanan enggan meninggalkan dunianya, boleh jadi karena dua alasan. Pertama kebutuhan ekonomi keluarga dan dirinya atau karena mahalnya biaya pendidikan kita.

Beasiswa, bilapun itu diberikan, diberikan setelah siswa ataupun mahasiswa yang bersangkutan melalui semester tertentu akan pengeluaran sendiri sebelumya. Gali lobang tutup lobang meskipun sulit untuk menutupinya terpaksa dilakukan orang tua, agar seorang siswa atau mahasiswa bisa belajar seperti yang lain di suatu lembaga pendidikan. Itupun bila ada orang yang memberi pinjaman. Akan tetapi bagi mereka yang mondar mandir kesana kemari membuka telapak tangan, mengharapkan iba dari orang lain agar memberinya pinjaman uang tetapi sepeserpun tak didapatkannya, dengan berat hati anakpun harus rela dengan nasib yang dialaminya.

Bisa jadi bagi mereka yang kesabarannya melebihi ambang batas, melakukan sebuah cara melarikan diri dari masalah meski kemudian yang terjadi adalah terjerat masalah yang lebih akut, hidup dalam kondisi koma, yaitu merelakan nyawanya dengan cara bunuh diri. Akan tetapi, sekurang-kurangnya mereka membuka pemahaman ideal lembaga pendidikan di hadapan nilai-nilai komersial pragmatis berbagai hal.

Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kita terperangkap matrelialistik. Di tingkat manapun, baik TK, SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan Tinggi, kesanggupan membayar adalah syarat utama di luar tes kelulusan. Artinya, kalaupun fleksibel, itupun terbatas pada uang sukarela yang angkanya ditentukan dalam batas minimal oleh lembaga.

Anehnya uang yang masuk melalui BP3, Sumbangan Pembangunan (SP) atau Dana Pembangunan (DP) seringkali memiliki kontribusi yang tidak jelas dengan kesejahteraan guru, dosen atau staf akademis. Mereka tetap berkategori miskin atau dimiskinkan oleh sistem yang dibangun pengelola pendidikan atau pemilik yayasan. Yayasan pendidikan seringkali setengah hati membuka transparansi keuangan, selain itu pula kebijakan atasan bersifat ambigu dua atap. Bila memang demikian, yang menjadi korban selain guru, dosen, atau staf akademis juga terbengkalainya proses belajar siswa atau mahasiswa.

Di tingkat pendidikan dasar, guru menganggap dirinya “nelangsa” tiap ganti tahun ajaran, mengenalkan buku ajar dan jualan menjadi relatif pengertiannya. Belum lagi ditambah biaya hidup yang semakin meroket... Ah, semoga saja apa yang saya tulis ini tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang, sehingga dunia pendidikan semakin membaik..... (udah waktunya tidur... hehe.. lain kali disambung lagi deh).