Kesombongan Lembaga Pendidikan



Entah inspirasi apa yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini, tapi itu tak penting, yang jelas, sekarang tulisan ini sudah ada di hadapan pembaca kan? dan sekarang silahkan lanjutkan untuk membacanya.

Bukanlah hal yang mudah mencantumkan judul dalam suatu karya tulis, apalagi dapat mengundang kontraversi dari berbagai kalangan. Seperti halnya dalam tulisan ini, tentu bagi lembaga pendidikan sangat tidak setuju, tapi bagaimana pun juga dengan berat hati terpaksa mencantumkan judul tulisan ini seperti yang tertera karena mungkin itulah pengalaman yang dirasakan penulis. Makanya tak heran mahasiswa tingkat akhir mondar-mandir kesana kemari untuk mencari judul skripsinya itupun memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi resiko ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbingnya.

Barangkali, saat ini sudah tidak aneh lagi bila pembaca,  mendengar berbagai kasus yang menyangkut dengan persoalan pendidikan. Anak sekolah seusia SD, SLTP, dan SMU bahkan Mahasiswa Perguruan Tinggi yang rela melepaskan nyawanya dengan cara-cara yang tragis, gantung diri  misalnya, hanya dikarenakan ketidaksanggupan membayar uang SPP, sumbangan atau apapun namanya. Berbagai kasus tersebut menjelaskan kepada kita bahwa gagalnya pendidikan memaklumi kemiskinan anak didik. (Red: ganti sajalah kemiskinan itu dengan jum’atkinan, sabtukinan dan seterusnya…garing !!!).

Ketidaksanggupan membayar sejumlah uang Rp.5000,- misalnya, bukanlah sebatas perkara besar kecil, melainkan realitas angka memerangkap kenyamanan harga diri. Memang, kalau kita perhatikan angka-angka yang tertera pada mata uang (Rp.25,- Rp.50,- Rp.100 dan seterusnya sampai angka nol dibelakangnya sulit untuk dihitung) saat ini menjadi sebuah parameter yang memandang seseorang dalam mengaktualisasi kemampuan segala hal, misalnya peringkat kelas atau nilai kecerdasan. Lalu angka-angka ini menjadi mitos bahwa manusia harus menjadi matre dan itu berarti seseorang harus kaya.

Pendidikan tak lagi memandang kemiskinan sebagai sesuatu yang harus atau akan dimaklumi, kenyataan logis itu berarti bahwa setiap soal diukur dalam tendensi ekonomi, apapun alasannya. Seorang yang pintar tidak dianggap keberadaannya bukan karena kapasitas kemampuan, tetapi alpa dari aktivitas berenang misalnya.

Memberlakukan siswa atau mahasiswa secara homogen memang menguntungkan, tak ada derajat kaya-miskin di dalamnya, hanya yang tetap dibutuhkan adalah kepekaan memahami status sosial sebagai kenyataan siswa atau mahasiswa yang bisa jadi tetap senjang.

Kefleksibelan pendidikan sebagai lembaga, tetap harus dijaga. Mana mungkin sebuah generasi yang beradab dan bernorma akan terbentuk manakala sistem yang membangun anak didik adalah sistem-sistem yang otoriter dan kaku.

Kesalahan dalam kasus bunuh diri siswa anak sekolah atau mahasiswa bukanlah terletak pada guru, dosen, sekolah atau orang tua, tetapi sistem yang dikembangkan dalam tingkat makro hanya menilai keberhasilan dari sesuatu yang eksak, terukur dan tentunya berwujud angka-angka.

Adakah sisi angka-angka tersebut menyentuh rasa keadilan ketika kelulusan dihitung berdasarkan besarnya jumlah sumbangan? Memang, keadilan itu menjadi sulit tatkala ketidakadilan itu diadilkan, dan kebenaran itu menjadi rumit tatkala ketidakbenaran itu dibenarkan.

Biang keladi masalah itu berawal dari kapitalisme untung-rugi. Akibatnya siswa atau mahasiswa dipandang sebagai prospek harga bukannya prospek nilai. Ironisnya pendidikan bukanlah lembaga moral yang memaklumi kemiskinan sepenuh hati, kalaupun anak-anak jalanan enggan meninggalkan dunianya, boleh jadi karena dua alasan. Pertama kebutuhan ekonomi keluarga dan dirinya atau karena mahalnya biaya pendidikan kita.

Beasiswa, bilapun itu diberikan, diberikan setelah siswa ataupun mahasiswa yang bersangkutan melalui semester tertentu akan pengeluaran sendiri sebelumya. Gali lobang tutup lobang meskipun sulit untuk menutupinya terpaksa dilakukan orang tua, agar seorang siswa atau mahasiswa bisa belajar seperti yang lain di suatu lembaga pendidikan. Itupun bila ada orang yang memberi pinjaman. Akan tetapi bagi mereka yang mondar mandir kesana kemari membuka telapak tangan, mengharapkan iba dari orang lain agar memberinya pinjaman uang tetapi sepeserpun tak didapatkannya, dengan berat hati anakpun harus rela dengan nasib yang dialaminya.

Bisa jadi bagi mereka yang kesabarannya melebihi ambang batas, melakukan sebuah cara melarikan diri dari masalah meski kemudian yang terjadi adalah terjerat masalah yang lebih akut, hidup dalam kondisi koma, yaitu merelakan nyawanya dengan cara bunuh diri. Akan tetapi, sekurang-kurangnya mereka membuka pemahaman ideal lembaga pendidikan di hadapan nilai-nilai komersial pragmatis berbagai hal.

Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kita terperangkap matrelialistik. Di tingkat manapun, baik TK, SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan Tinggi, kesanggupan membayar adalah syarat utama di luar tes kelulusan. Artinya, kalaupun fleksibel, itupun terbatas pada uang sukarela yang angkanya ditentukan dalam batas minimal oleh lembaga.

Anehnya uang yang masuk melalui BP3, Sumbangan Pembangunan (SP) atau Dana Pembangunan (DP) seringkali memiliki kontribusi yang tidak jelas dengan kesejahteraan guru, dosen atau staf akademis. Mereka tetap berkategori miskin atau dimiskinkan oleh sistem yang dibangun pengelola pendidikan atau pemilik yayasan. Yayasan pendidikan seringkali setengah hati membuka transparansi keuangan, selain itu pula kebijakan atasan bersifat ambigu dua atap. Bila memang demikian, yang menjadi korban selain guru, dosen, atau staf akademis juga terbengkalainya proses belajar siswa atau mahasiswa.

Di tingkat pendidikan dasar, guru menganggap dirinya “nelangsa” tiap ganti tahun ajaran, mengenalkan buku ajar dan jualan menjadi relatif pengertiannya. Belum lagi ditambah biaya hidup yang semakin meroket... Ah, semoga saja apa yang saya tulis ini tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang, sehingga dunia pendidikan semakin membaik..... (udah waktunya tidur... hehe.. lain kali disambung lagi deh).

3 comments:

  1. good posting, I like it alias setujuuuuu banget.
    mudah2an ada keajaiban yang bisa merubah sistem ini kembali kejalan yang semestinya.

    ReplyDelete